Minggu, 18 Juni 2017

TEORI IDENTITAS SOSIAL (Social Identity Theory)

Pengertian Identitas Sosial
Teori Identitas Sosial sendiri mulai dikenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Henri Tajfel, dia adalah keturunan yahudi Polandia yang lahir di Wloclawek pada 22 Juni 1919. 
Akan tetapi, Tajfel sama sekali tidak menganut agama yang dianutnya secara penuh. Tajfel tertarik belajar psikologi mulai tahun 1946. 
Ditahun1968, Tajfel menjadi Profesor Psikologi Sosial dari Departemen Psikologi pada Universitas Bristol, dan dia tetap di sana sampai kematian menjemputnya pada tahun 1982. 
Di Universitas Bristol Tajfel bekerja sama dengan peneliti-peneliti muda seperti Michael Billing, Dick Eisier, Jonathan Turner dan Glyns Breakwell. 
Pada 1974 Tajfel berhasil mengajukan proposal ke Social Science Research Council (SSRC) mengenai identitas sosial, kategorisasi sosial, dan perbandingan sosial dalam tingkah laku hubungan antar kelompok. 
Nantinya, bersama Turner, Tajfel mempopulerkan teori identitas sosial. (Reicher, 1993, dalam Woodhead et al., 1999 ).
Berikut pendapat beberapa ahli tentang pengertian dari Identitas Sosial (Social Identity) :
  1.  Menurut Baron & Byrne : Identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain, seperti gender dan ras.
  2. Menurut Tajfel (1982) :  Social Identity (identitas sosial) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu.
  3. Hogg dan Abram (1990) : Social identity sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat.
  4. Menurut William James (dalam Walgito, 2002) : social identity lebih diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain.
  5.  Fiske dan Taylor (1991) : social identity menekankan nilai positif atau negatif dari keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
 Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian social identity, maka dapat disimpulkan bahwa social identity adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial tertentu, yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi, tingkat keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya dalam kelompok tersebut.
Untuk menjelaskan identitas sosial, terdapat konsep penting yang berkaitan, yaitu kategori sosial. Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk., (2002) mengungkapkan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih yang mempersepsikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama. Seorang individu pada saat yang sama merupakan anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial (Hogg dan Abrams, 1990). Kategorisasi adalah suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna (Turner dan Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993). Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka. Kita adalah ingroup, sedangkan mereka adalah outgroup. maka kelompok lain sebagai out-group disepsepsikan sebagai musuh atau yang mengancam (Sear., dkk., 1994). Banyaknya kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal mengindikasikan sejauh mana kita serupa dan tidak serupa dengan orang lain disekitar kita. Dalam banyak kasus, setiap Kelompok berusaha untuk menjadikan anggotanya memiliki identitas sosial yang kuat dan inheren terhadap kelompoknya. ketika seseorang telah memiliki identitas yang kuat terhadap kelompokya, maka secara psikologis, ia akat sangat terikat dan pada akhirnya aka melahirkan solidaritas dan komitmen terhadap kelompok (Zillmann, dkk., dalam Jacobson, 2003). Hal senada juga disampaiikan oleh Vugt dan Hart (2004), yang menatakan bahwa identitias sosial akan mempengaruhi loyatis dan intergrias anggota kelompok. Beberapa kasus menunjukan bahwa solidaritas terhadap kelompoknya terkadang membawa individu ke arah perilaku yang melanggar norma-norma

Dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity
 Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada empat dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity, yaitu:
1)      Persepsi dalam konteks antar kelompok
Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status dan gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi setiap individu didalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu untuk memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya maupun kelompok yang lain.
2)      Daya tarik in-group
Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering menimbulkan “in group bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri. Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982) in group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain.
Berdasarkan Social Identity Theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982) mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group. Berdasarkan teori tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga diri kita, yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas sosial (social identity) yang berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan individu lain.
3)      Keyakinan saling terkait
Social identity merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat.
4)       Depersonalisasi
Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam sebuah kelompok, maka individu tersebut akan cenderung mengurangi nilai-nilai yang ada dalam dirinya, sesuai dengan nilai yang ada dalam kelompoknya tersebut. Namun, hal ini juga dapat disebabkan oleh perasaan takut tidak ‘dianggap’ dalam kelompoknya karena telah mengabaikan nilai ataupun kekhasan yang ada dalam kelompok tersebut. Keempat dimensi tersebut cenderung muncul ketika individu berada ditengah-tengah kelompok dan ketika berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya.
  Motivasi Melakukan Social Identity
Social identity dimotivasi oleh dua proses yaitu self-enhacement dan uncertainty reduction yang menyebabkan individu untuk berusaha lebih baik dibandingkan kelompok lain. Motivasi ketiga yang juga berperan adalah optimal distinctiveness. Ketiga motivasi ini akan dijelaskan sebagai berikut (Burke, 2006):
  1. 1.       Self-enhancement dan positive distinctiveness
Positive distinctiveness mencakup keyakinan bahwa ”kelompok kita” lebih baik dibandingkan “kelompok mereka”Kelompok dan anggota yang berada di dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan positive distinctiveness tersebut karena hal itu menyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan kelompoknya. Positive distinctiveness seringkali dimotivasi oleh harga diri anggota kelompok. Ini berarti bahwa harga diri yang rendah akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri pun akan mengalami peningkatan. Self-enhancement tak dapat disangkal juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk melakukan social identity adalah untuk memberikan aspek positif bagi   dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan self enhancement (Burke, 2006).
  1. 2.      Uncertainty Reduction
Motif social identity yang lain adalah uncertainty reduction. Motif ini secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial. Individu berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia sosial. Individu suka untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain tersebut berperilaku. Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction karena memberikan group prototype yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk dirinya) akan/dan seharusnya berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam uncertainty reduction, anggota kelompok terkadang langsung menyetujui status keanggotaan mereka karena menentang status kelompok berarti meningkatkan ketidakpastian self-conceptualnya. Individu yang memiliki ketidakpastian self-conceptual akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah memiliki kepastian self-conceptual akan dimotivasi oleh self-enhancement untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap kelompoknya (Burke, 2006).
  1. 3.      Optimal Distinctiveness
Motif ketiga yang terlibat dalam proses social identity adalah optimal distinctiveness. Menurut Brewer (1991), individu berusaha menyeimbangkan dua motif yang saling berkonflik (sebagai anggota kelompok atau sebagai individu) dalam meraih optimal distinctiveness (dalam Burke, 2006). Individu berusaha untuk menyeimbangkan kebutuhan mempertahankan perasaan individualitas dengan kebutuhan menjadi bagian dalam kelompok yang akan menghasilkan definisi dirinya sebagai anggota kelompok (Ellemers, 1999).
Komponen Identitas Sosial
Tajfel (1978) mengembangkan social identity theory sehingga terdiri dari tiga komponen yaitu cognitive component (self categorization), evaluative component (group self esteem), dan emotional component (affective component) yaitu:
a.      Cognitive component
Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999). Komponen ini juga berhubungan dengan self stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 2001).
b. Evaluative component
Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem. Evaluative component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).
c. Emotional component
Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti affective commitmentEmotional component ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap kelompoknya (affective commitment). Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap social identity yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif (dalam Ellemers, 1999).

Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar terbentuknya identitas sosial, yaitu social identification, social categorization, dan social comparison.

a. Identification
Ellemers (1993) menyatakan bahwa identifikasi sosial, mengacu pada sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain) sebagai anggota kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan, dapat didefinisikan sesuai dengan “categorization” yang ditawarkan. Sebagai hasilnya, kelompok sosial memberikan sebuah identification pada anggota kelompok mereka, dalam sebuah lingkungan sosial. Ketika seseorang teridentifikasi kuat dengan kelompok sosial mereka, mereka mungkin merasa terdorong untuk bertindak sebagai anggota kelompok, misalnya, dengan menampilkan perilaku antar kelompok yang diskriminatif. Aspek terpenting dalam proses identification ialah, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Selanjutnya Ellemers, , Kortekaas & Ouwerkerk (1999) menambahkan bahwa identification terutama digunakan untuk merujuk kepada perasaan komitmen afektif kepada kelompok (yaitu komponen emosional), daripada kemungkinan untuk membedakan antara anggota pada kategori sosial yang berbeda (komponen kognitif).

Menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), identifikasi merupakan identitas sosial yang melekat pada individu, mengandung adanya rasa memiliki pada suatu kelompok, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Dalam melakukan identifikasi, individu dipacu untuk meraih identitas positif (positive identity) terhadap kelompoknya. Dengan demikian akan meningkatkan harga diri (self esteem) individu sebagai anggota kelompok. Sementara demi identitas kelompok (identitas sosial) nya, seseorang atau sekelompok orang rela melakukan apa saja agar dapat meningkatkan gengsi kelompok, yang dikenal dengan istilah in-group favoritsm effect. Tajfel (dalam Hogg, 2003) juga menyatakan bahwa dalam melakukan identifikasi, individu cenderung memiliki karakteristik ethnocentrism pada kelompoknya.

Hogg & Abrams (1990) juga menyatakan bahwa dalam identifikasi, ada pengetahuan dan nilai yang melekat dalam anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu. Selain untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam suatu kelompok.

b.  Categorization
Ellemers (1993) menyatakan bahwa categorization menunjukkan kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu. Sebagai konsekuensi dari categorization ini, perbedaan persepsi antara unsur-unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out group) lah yang lebih ditekankan. Dengan demikian, categorization berfungsi untuk menafsirkan lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan kelompok, dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga.

Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Adanya social categorization menyebabkan adanya self categorization. Self categorization merupakan asosiasi kognitif diri dengan kategori sosial (Burke & Stets, 1998) yang merupakan keikutsertaan diri individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok. Oleh karena itu dalam melakukan kategorisasi, terciptalah conformity, karena memungkinkan individu untuk mempertahankan identitas sosialnya dan mempertahankan keanggotaannya (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).

Tajfel dan Turner (dalam Hogg, 2003) menyatakan, kategorisasi membentuk identitas sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar kelompok.
  1. Kategorisasi menekankan pada hal-hal yang terasa sama di antara anggota kelompok.
  2. Kategorisasi dapat meningkatkan persepsi dalam homogenitas dalam kelompok. Ini lah yang memunculkan streotype dalam kelompok.
  3. Dalam melakukan kategorisasi, anggota kelompok cenderung melakukan polarisasi dua kutub secara ekstrim, kami (ingroup) atau mereka (outgroup). Sehingga setiap anggota kelompok berusaha mempertahankan keanggotaannya dengan melakukan conformity.
c. Social Comparison
Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Ellemers (1993). Identitas sosial dibentuk melalui perbandingan sosial. Perbandingan sosial merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan kita. Melalui perbandingan sosial identitas sosial terbentuk melalui penekanan perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan outgroup (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).

Menurut Hogg & Abrams (1990), dalam perbandingan sosial, individu berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam ingroup.

Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini merupakan pergerakan psikologis dari perilaku individu dalam kelompok. Proses perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status kelompoknya.

Karakter Identitas Sosial

Hogg & Vaughan (2002) menyatakan bahwa identitas sosial diasosiasikan dengan tingkah laku kelompok, yang mempunyai karakteristik umum; ethnocentrism, in-group favoritsm, intergroup differentiation, conformity to in-group norms, dan group stereotype

a. Ethnocentrism
Ethnocentrism adalah sifat khas daripada individu yang menganggap kelompoknya lebih superior. Sehingga menumbuhkan kecenderungan penilaian memandang in-group secara moral lebih baik dan lebih berharga daripada outgroup.

b. In-group favoritsm
In-group favoritsm adalah perilaku yang menyukai dan menilai apa yang ada pada kelompoknya (in-group) melebihi kelompok lain (outgroup). Individu umumnya kan menilai anggota in-group lebih positif. Dengan adanya in-group favoritsm, individu akan mempunyai solidaritas yang kuat dalam kelompoknya.

c. Intergroup differentiation
Tingkah laku yang menekankan perbedaan antar kelompok yang dimilikinya (in-group) dan kelompok lain (outgroup). Perbedaan antar kelompok akan mempengaruhi persepsi sesorang tentang kelompoknya sendiri dan tentang kelompok lainnya. Menurut Tajfel (dalam Hogg & Vaugha, 2002), kelompok dengan kekuasaan yang lebih kecil lebih menyadari perbedaan kekuatannya dan statusnya.

d. Conformity to in-group norms
Konformitas merupakan kecenderungan untuk memperbolehkan suatu perilaku untuk dilakukan individu sesuai dengan norma yang ada di dalam kelompok (in-group) nya. Konformitas merupakan kecenderungan seseorang untuk mengikuti aturan dan tekanan in-group walaupun tidak ada permintaan langsung dari kelompok tersebut agar individu merasa diterima oleh kelompoknya.

e. Group stereotype
Stereotype kelompok merupakan kepercayaan tentang karakteristik kelompok tertentu. Stereotype kelompok bisa positif, bisa negatif. Stereotype merupakan persepsi terhadap suatu kelompok yang kaku (tidak dapat diubah), dan uniform (seragam, sama-sama dimiliki oleh kelompok sejenis).

Karena individu mendapatkan identitas sosial mereka melalui kelompok dimana mereka bergabung, mereka menciptakan ketertarikan dalam mempertahankan atau memperoleh profil in-group yang lebih positif daripada kelompok outgroup yang relevan (mirip)

SUMBER:
http://blog.ub.ac.id/dewikhusnahamalia/category/psikologi-sosial/uncategorized/
http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-identitas-sosial-definisi.html
Taylor, Shelley E & Peplau Letita Anne & Sears David O. (2009). Psikologi Sosial. Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana

Burke J. Peter, Stets E. Jan, 1998, Identity Theory And Social Identity Theory. Washington State University

Hogg, Michael A & Abrams, D (1990). Social Identification; A Psychology of Intergroup Relation and Group Process. [On-line] http://books.google.co.id/books?id=50OV4gqcFA0C&printsec=frontcover&dq=Social+Identification%3B+A+Psychology+of+Intergroup+Relation+and+Group+Proces s&hl=en&sa=X&ei=kpnnUYr9NMHrrQeAzIHwDQ&redir_esc=y. Diakses pada 16 Juli 2013

Hogg, Michael A & Vaughan Graham M. (2002). Social Psychology. Third Edition. London: Prentice Hall, Pearson Education

Ellemers, Naomi. (1993). The Influence of Socio-structural Variables on Identity Management Strategies. European Review of Social Psychology



Tidak ada komentar:

Posting Komentar