Sabtu, 17 Juni 2017

Deskripsi Variabel Kepuasan Kerja

Gaji yang sesuai dengan prestasi (Y1.1), 
Pemberian tunjangan yang adil (Y1.2), 
Tingkat kesejahteraan yang tinggi (Y1.3), 
Penghargaan atas prestasi (Y1.4), 
Jaminan keamanan dalam bekerja (Y1.5), 
Sistem promosi jabatan (Y1.6)




Standardized Regression Weight (Loading Factor) Measurement Model Variabel Kepuasan Kerja
Indikator
Variabel
Estimate LF (λ)
Estimate
S.E.
C.R
Prob
KK1
Kepuasan Kerja
0,838
1,000



KK2
Kepuasan Kerja
0,797
1,023
0,074
13,767
***
KK3
Kepuasan Kerja
0,811
1,005
0,071
14,194
***
KK4
Kepuasan Kerja
0,846
1,057
0,071
14,826
***
KK5
Kepuasan Kerja
0,790
1,129
0,085
13,284
***
KK6
Kepuasan Kerja
0,820
1,135
0,081
14,006
***
Sumber : Data diolah untuk disertasi ini, 2017

Tanggapan Responden Terhadap Variabel Kepuasan Kerja
No
Indikator
Skor Jawaban
Total
Mean
1
2
3
4
5
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
1
KK1
7
3,3
14
6,7
73
34,8
97
46,2
19
9,0
210
3,51
2
KK2
7
3,3
23
11,0
73
34,8
84
40,0
23
11,0
210
3,44
3
KK3
8
3,8
31
14,8
79
37,6
81
38,6
11
5,2
210
3,27
4
KK4
7
3,3
25
11,9
59
28,1
103
49,0
16
7,6
210
3,46
5
KK5
15
7,1
19
9,0
45
21,4
106
50,5
25
11,9
210
3,51
6
KK6
12
5,7
22
10,5
60
28,6
92
43,8
24
11,4
210
3,46
Mean Variabel Kepuasan Kerja
3,44
Sumber : Data diolah untuk disertasi ini, 2017

Kepuasan kerja merupakan salah satu dari beberapa mekanisme individu yang secara langsung mempengaruhi kinerja kerja dan komitmen organisasi. Konsep dan penilaian kepuasan kerja dimulai pada tahun 1911 dengan penelitian Taylor. Taylor (Ahmed, et al., 2010) menyatakan bahwa penghargaan seperti pendapatan dari pekerjaan, pembayaran insentif, promosi, penghargaan, dan peluang untuk kemajuan bisa menyebabkan peningkatan kepuasan kerja. 
Berbagai peneliti telah mendefinisikan istilah kepuasan kerja. Wiener (Ahmed, et al., 2010) menyatakan bahwa, kepuasan kerja adalah sikap yang berhubungan dengan kondisi pekerjaan, segi pekerjaan, atau aspek-aspek pekerjaan.
Locke (Colquitt, et al., 2014), kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian seseorang untuk pekerjaannya atau pengalaman kerjanya. Dengan kata lain, kepuasan kerja merupakan bagaimana perasaan Anda tentang pekerjaan Anda dan apa yang Anda pikirkan tentang pekerjaan Anda. Karyawan akan berfikir positif ketika mereka merasa memiliki kepuasan kerja yang tinggi terhadap tugas-tugas mereka dan mengambil bagian dalam kegiatan tersebut. Karyawan akan berfikir negatif ketika mereka merasa memiliki kepuasan kerja yang rendah terhadap tugas-tugas mereka dan mengambil bagian dalam kegiatan tersebut.
Dari defenisi diatas, oleh Hollenbeck, et. al (2016) memiliki 3 (tiga) komponen, yaitu: 1) Kepuasan kerja berhubungan dengan nilai-nilai seseorang, yang didefinisikan sebagai "apa yang secara sadar atau tidak sadar diinginkan seseorang untuk mendapatkannya." 2) Karyawan yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda dari nilai-nilai yang penting, sehingga situasi yang sama dapat menghasilkan berbagai tingkat kepuasan kerja. 3) Kepuasan kerja didasarkan pada persepsi, tidak selalu pada pengukuran yang objektif dan lengkap tentang situasi. Setiap orang membandingkan nilai-nilai situasi pekerjaan untuknya, dan orang-orang yang cenderung berbeda sesuai dengan anggapan mereka.
Menurut Griffin & Moorhead (2014) kepuasan kerja mencerminkan sejauh mana orang menemukan kepuasan atau pemenuhan dalam pekerjaan mereka. Kepuasan kerja adalah perasaan menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi seseorang bahwa pekerjaan tersebut memenuhi atau memungkinkan untuk pemenuhan pentingnya nilai-nilai pekerjaan seseorang (John A Wagner & Hollenbeck, 2010).
Definisi tentang kepuasan kerja mencakup tiga komponen utama: Nilai-nilai, pentingnya nilai-nilai, dan persepsi. Kepuasan kerja merupakan fungsi dari nilai-nilai, yaitu, keinginan seseorang baik secara sadar atau tidak sadar untuk mendapatkan pekerjaan. Nilai-nilai tidak sama dengan kebutuhan dalam arti bahwa kebutuhan yang terbaik dianggap sebagai "syarat obyektif" untuk tubuh serta penting untuk mempertahankan hidup, seperti kebutuhan akan oksigen dan air. Di sisi lain nilai-nilai, adalah "persyaratan subjektif" yang ada dalam pikiran orang. Komponen kedua untuk kepuasan kerja adalah pentingnya nilai-nilai. Orang tidak hanya berbeda dalam nilai-nilai yang mereka pegang, tetapi juga dalam bobot yang mereka berikan kepada nilai-nilai, dan perbedaan-perbedaan ini secara kritis mempengaruhi tingkat kepuasan kerja mereka. Satu orang mungkin menghargai keamanan kerja di atas segalanya. Orang lain mungkin paling peduli dengan kesempatan untuk melakukan perjalanan. Namun orang lain mungkin tertarik dalam melakukan pekerjaan yang menyenangkan atau membantu orang lain. Meskipun orang pertama dapat dipenuhi dengan kerja jangka panjang, namun dua lainnya mungkin menemukan sedikit kepuasan dalam hubungan kerja secara jangka panjang. Komponen terakhir dari definisi tentang kepuasan kerja adalah persepsi. Kepuasan mencerminkan persepsi kita tentang situasi sekarang dan nilai-nilai kita. Ketika mereka tidak sempurna, kita harus melihat persepsi individu untuk situasi, bukan situasi yang sebenarnya, untuk memahami reaksi pribadinya.
Sedangkan menurut John R. Schermerhorn (2007) kepuasan kerja merupakan sikap yang mencerminkan perasaan positif dan negatif seseorang terhadap pekerjaan, rekan kerja, dan lingkungan kerjanya. Lebih lanjut dikemukakan didefinisikan bahwa kepuasan kerja merupakan sebagai sikap yang mencerminkan penilaian seseorang tentang pekerjaannya atau pengalaman kerjanya dalam kurun waktu tertentu.
Menurut McShane & Von Glinow (2008) Kepuasan kerja adalah penilaian seseorang tentang kerja dan konteks pekerjaannya. Hal yang dimaksud di sini adalah penilaian dari karakteristik yang dirasakan tentang pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Karyawan yang puas akan memiliki penilaian yang menguntungkan tentang pekerjaan mereka, berdasarkan observasi dan pengalaman emosional.
Menurut Noe, et al., (2016) Kepuasan kerja merupakan Sebuah perasaan yang menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi seseorang bahwa pekerjaannya telah memenuhi atau memungkinkan untuk terpenuhinya nilai-nilai pekerjaan. Kepuasan kerja adalah kombinasi dari reaksi kognitif dan afektif dengan persepsi diferensial dari apa yang seorang pekerja akan menerima dibandingkan dengan apa yang sebenarnya ia menerima (Boyt, et. al dalam Osibanjo, et. al (2012)). Kepuasan kerja individu adalah kognitif, afektif, dan mengevaluasi reaksi terhadap pekerjaannya (Greenberg dan Baron, (Osibanjo, et al., 2012)).
Kepuasan kerja mengacu pada sikap dan perasaan orang tentang pekerjaan mereka. Sikap positif dan menguntungkan terhadap pekerjaan menunjukkan kepuasan kerja. sikap negatif dan tidak menguntungkan terhadap pekerjaan menunjukkan ketidakpuasan kerja (Armstrong, 2006). Semangat sering didefinisikan sebagai sama dengan kepuasan kerja. (Guion, 1958 dalam (Armstrong, 2006) mendefinisikan semangat sebagai "sejauh mana kebutuhan individu puas dan sejauh mana individu merasakan kepuasan yang seperti berasal dari situasi kerja". (Gilmer, 1961 dalam (Armstrong, 2006) menunjukkan bahwa semangat adalah perasaan yang diterima oleh dan milik sekelompok karyawan melalui kepatuhan terhadap tujuan bersama. Dia membedakan antara semangat sebagai variabel kelompok, berkaitan dengan sejauh mana anggota kelompok merasa tertarik dalam kegiatan kelompok dan keinginan mereka untuk tetap bertahan menjadi anggota, dan sikap kerja sebagai variabel individu terkait dengan perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka.
Tingkat kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor motivasi intrinsik dan ekstrinsik Herzberg Two Factor Theory), kualitas pengawasan, hubungan sosial dengan kelompok kerja dan sejauh mana individu berhasil atau gagal dalam pekerjaan mereka (Armstrong, 2006). Teori dua faktor ini sangat menarik perhatian banyak orang sejak pertama kali dipresentasikan. Saat ini teori ini merupakan model yang banyak diterima dalam mempelajari kepuasan kerja. Herzberg menjadikan hirarki kebutuhan Maslow sebagai dasar untuk mengembangkan teorinya. Herzberg menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja berbeda. Herzberg dalam (Stroh & Gregory B. Northcraft, 2002) mengemukakan teori kebutuhan yang disebutnya sebagai Teori Dua Faktor. Diyakini bahwa faktor yang berhubungan dengan kerja dapat dibagi dua yaitu motivator dan higiene. Faktor higiene merupakan semua elemen kerja yang berhubungan dengan job context atau sebagai konsekuensi dari kerja itu sendiri. Dicontohkan sebagai faktor higiene adalah penghasilan, rekan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, dan pengawasan. Motivator merupakan elemen yang berhubungan dengan job content atau tugas dan kewajiban dari pekerjaan yang dilakukan. Tanggung jawab, rangsangan atau stimulus kerja, pertumbuhan, pengakuan, kemajuan, dan prestasi kerja adalah sebagai motivator. Faktor higiene tidak mencukupi maka akan timbul ketidakpuasan, namun jika semua faktor higiene mencukupi maka kepuasan hanya pada tingkat netral. Demikian pula bila motivator terpenuhi maka akan mendorong kepuasan kerja lebih tinggi, namun bila motivator tidak terpenuhi kepuasannya pada tingkat netral.
Armstrong & Taylor (2014), tingkat kepuasan kerja atau ketidakpuasan dipengaruhi oleh: 1) Faktor motivasi intrinsik. Ini berhubungan dengan isi pekerjaan, terutama lima dimensi pekerjaan yang diidentifikasi oleh (Hackman dan dalam Oldham (Armstrong & Taylor, 2014)): berbagai keterampilan, identitas tugas, makna tugas, otonomi dan umpan balik (karakteristik pekerjaan), 2) Kualitas pengawasan. Studi Hawthorne oleh Roethlisberger dan Dixon, dalam (Armstrong & Taylor, 2014)) menghasilkan klaim pengawasan sebagai penentu paling penting tentang sikap pekerja. Elton Mayo dalam (Armstrong & Taylor, 2014)) percaya bahwa keinginan manusia untuk terus dikaitkan dalam pekerjaan dengan teman-temannya sangat kuat, 3) Keberhasilan atau kegagalan. Sukses pasti menciptakan kepuasan, terutama jika itu memungkinkan individu untuk membuktikan diri bahwa mereka menggunakan Ability (kemampuan) mereka secara penuh.
Feinstein dalam (Ahmed, et al., 2010)) mengatakan bahwa untuk meningkatkan tingkat kepuasan individu, karyawan harus diberikan kesempatan untuk maju. Demikian pula perubahan variabel organisasi, seperti skala gaji, masukan dari karyawan dalam proses pembuatan kebijakan, dan lingkungan kerja bisa dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan komitmen organisasi dan hasil akhir secara keseluruhan. Elton Mayo menemukan bahwa interaksi dalam kelompok adalah pemuas terbesar diikuti keselamatan, kaitannya dengan pekerjaan dan kesuksesan (Bektas dalam (Ahmed, et al., 2010)). Mosadeghard dalam (Ahmed, et al., 2010) memberi dimensi Kepuasan kerja seperti sifat pekerjaan, manajemen dan pengawasan, kebutuhan tugas, rekan kerja, keamanan kerja, pengakuan dan promosi memiliki efek yang lebih pada komitmen organisasi karyawan dalam suatu organisasi.
Tidak adanya keseimbangan dalam kehidupan kerja, kurangnya kesempatan untuk maju, lingkungan kerja, kurangnya dorongan, kurangnya pengakuan dapat menyebabkan stres, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpuasan, kelelahan dan akhirnya meningkatkan tingkat turnover dalam organisasi (Ahmadi dan Alireza, dalam (Ahmed, et al., 2010)). Kepuasan kerja berbanding terbalik dengan kelelahan, niat untuk meninggalkan organisasi (Penn,, et al dalam (Ahmed, et al., 2010)). Kepuasan kerja meningkat ketika pendapatan lebih besar dari pendapatan yang diperkirakan dalam sektor pendidikan (Bender dan Heywood dalam (Ahmed, et al., 2010)).
Tingkat kepuasan kerja dapat diukur dengan menggunakan survei perilaku. Ada empat metode yang bisa digunakan (Armstrong, 2006) : 1) dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Ini dapat diberikan kepada semua atau sampel karyawan. Kuesioner bisa yang standar, seperti Brayfield dan Rothe Indeks Kepuasan Kerja, atau mereka dapat dikembangkan khusus untuk organisasi. Keuntungan menggunakan kuesioner standar adalah bahwa mereka telah diuji secara menyeluruh dan dalam banyak kasus norma yang memadai untuk dikompensasi hasilnya dapat dibandingkan, 2) dengan menggunakan wawancara. Ini bisa dilakukan dengan wawancara terbuka atau wawancara mendalam, 3) dengan kombinasi kuesioner dan wawancara. Ini adalah pendekatan yang ideal karena menggabungkan data kuantitatif dari kuesioner dengan data kualitatif dari wawancara, 4) dengan menggunakan fokus grup. Focus group adalah sampel yang representatif dari karyawan atas sikap dan opini yang dicari pada isu-isu tentang organisasi dan pekerjaan mereka.
Patricia C. Smith (John R. Schermerhorn, 2007) menggunakan dua dari kuesioner kepuasan kerja yang lebih populer digunakan selama bertahun-tahun yaitu Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) dan Indeks Deskriptif Kerja (JDI). Lima aspek kepuasan kerja diukur dengan Indeks Deskriptif Kerja (JDI) antaralain (John R. Schermerhorn, 2007): 1) Pekerjaan itu sendiri = tanggung jawab, keterikatan, dan pertumbuhan, 2) Kualitas pengawasan = bantuan teknis dan dukungan sosial, 3) Hubungan dengan rekan kerja = keharmonisan sosial dan rasa hormat, 4) Kesempatan Promosi = peluang untuk maju, 5) Upah = kecukupan membayar dan persepsi ekuitas
Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) mengukur kepuasan dengan (John R. Schermerhorn, 2007): Kondisi kerja, kesempatan untuk maju, kebebasan untuk menggunakan satu penilaian sendiri, pujian untuk melakukan pekerjaan yang baik, dan persepsi prestasi
Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) yang dikembangkan oleh Weiss, et. al (1967) yaitu:  Pemanfaatan (kemampuan), prestasi, aktivitas, kemajuan, wewenang, kebijakan dan praktek perusahaan, kompensasi, rekan kerja, kreativitas, kebebasan, Nilai moral, pengakuan, tanggung jawab, keamanan, pelayanan sosial, status sosial, pengawasan -  hubungan manusia, pengawasan – teknis, variasi, dan kondisi kerja
Yang & Hwang (2014) mengukur kepuasan kerja dengan pertimbangan keadilan, yaitu:  Kepuasan intrinsik dengan indikator: pekerjaan saya sangat menantang, keterampilan saya cocok dengan pekerjaan saya, saya menyadari seluruh potensi saya dalam pekerjaan saya dan Kepuasan ekstrinsik dengan indikator: perusahaan saya menawarkan jalur promosi yang adil, perusahaan saya memberikan keuntungan yang besar dan perusahaan saya secara aktif berupaya untuk meningkatkan kemampuan kerja saya.
Kepuasan kerja mempengaruhi banyak perilaku individu. Lawan dari kepuasan adalah ketidakpuasan. Sebuah contoh yang penting untuk mengorganisir dan memahami konsekuensi tentang ketidakpuasan dalam bekerja adalah (EVLN) model yaitu: exit (Keluar) – voice (berpendapat) – loyalty (Loyalitas) - neglect (Mengabaikan) Withey and Cooper (McShane & Von Glinow, 2008).
Exit. merujuk pada meninggalkan organisasi, pindah ke unit kerja yang lain, atau setidaknya berusaha untuk keluar. Pergantian karyawan adalah hasil dari ketidakpuasan kerja, khususnya bagi karyawan dengan kesempatan kerja yang lebih baik di tempat lain.
Voice. mengacu pada setiap upaya untuk mengubah, bukan melarikan diri pada situasi yang tidak memuaskan. Pendapat bisa menjadi respon konstruktif, seperti merekomendasikan cara manajemen untuk memperbaiki situasi; atau bisa lebih konfrontatif, seperti mengajukan keluhan formal. Dalam ekstrem, beberapa karyawan mungkin terlibat dalam perilaku kontraproduktif untuk mendapatkan perhatian dan kekuatan perubahan dalam organisasi.
Loyality. Loyalitas telah dijelaskan dalam cara yang berbeda, namun yang paling banyak digunakan istilah "loyalis" adalah karyawan yang menanggapi ketidakpuasan dengan sabar menunggu.
Neglect. Merujuk pada mengurangi usaha kerja, kurang memperhatikan kualitas, dan meningkatkan absensi dan keterlambatan. Hal ini umumnya dianggap sebagai kegiatan pasif yang memiliki konsekuensi negatif bagi organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar